Kritik tajam Gus Ipul adalah hak warga negara. PKB kalau tidak mau dikritik, wajib mengubah diri menjadi partai keluarga atau partai tertutup. Sebagai lembaga politik terbuka, PKB paralel dengan PT (perseroan terbatas) dalam institusi bisnis. Sebagai bukan lembaga bisnis sekelas CV atau bahkan koperasi, maka kritik adalah hal niscaya yang akan terus dihadapi PKB atau partai manapun.
Posisi Gus Ipul sebagai sekjen PBNU menjadi “legal standing ” lain yang bukan saja sah, tetapi bahkan harus terus mengawal perjalanan partai yang didirikan oleh PBNU ini.
Sebagai institusi politik , dalam konsepsi hukum Hak Asasi manusia ((HAM), PKB dengan segala kritik tajam yang dihadapinya bisa dicermati dari sejumlah sisi ini.
Pertama, kritik tajam Gus Ipul adalah bagian dari hak politik warga negara. Pembungkaman atau setidaknya “intimidasi” atas kritik sejenis adalah sebentuk pelanggaran hak.
Siapapun, lebih-lebih Gus Ipul, memiliki hak politik untuk berbicara, mengkritik, menawarkan gagasan ataupun bahkan mengincar jabatan politik di partai politik (apalagi PKB), yang legalitasnya diakui negara.
Kedua, dalam kontek hak politik, negara dan institusi politik yang legalitasnya diakui negara bertindak sebagai duty bearer (pemangku kewajiban) untuk melakukan pemenuhan (fulfillmen), penghormatan (respeksi) dan perlindungan (proteksi) atas hak mengkritik dan juga hak politik yang lainnya.
Pembatasan apalagi pelarangan yang dilakukan PKB terhadap Gus Ipul untuk mengkritik dan mengincar jabatan di PKB, dalam konteks hak politik adalah extra ordinary crime yang pelakunya adalah non-state actor.
Ketiga, hak politik dalam konsepsi hukum Hak Asasi manusia (HAM) bersifat non-deregable right, hak yang tidak bisa dikurangi apalagi dihilangkan. Oleh sebab itu, pelanggaran atas hak ini dikategorikan sebagai pelanggaran luar biasa.