Sejumlah agenda politik pasca pemilu 2024, terus bergeliat. Pilkada serentak, Munas dan Muktamar sejumlah partai politik serta tentu saja hitung-hitungan koalisi Prabowo Gibran, menyeruak menyemarakkan agenda sepanjang tahun ini. Tali temali pilkada-Muktamar-koalisi, menjadi pola dan acuan pergerakan dan langkah para politisi.
Dari sekian dinamika itu, posisi PKB paling unik, paling menarik. Disebut unik, sebab PKB menjadi satu-satunya partai yang masuk jajaran empat besar, tetapi ringkih posisi tawarnya. Kondisi ini berbeda dengan posisi PDIP, Golkar dan tentu saja Gerindra. Terkait PDIP, posisi Megawati masih sangat sentral, baik sebagai ketum PDIP maupun sebagai jangkar utama perpolitikan nasional.
Megawati mewujud sebagai pendulum penyeimbang istana lama dan istana baru. Agenda Prabowo ataupun Jokowi untuk bertemu Megawati, riuh dibahas dan semakin menarik justru karena pertemuan tersebut belum terwujud.
Posisi Airlangga Hartarto dan Golkar juga kokoh. Golkar punya saham dan resources besar sebagai penopang utama (selain Gerindra dan Nasdem), koalisi Prabowo Gibran.
Berbeda dengan posisi PKB. Elit-elit PKB belum move on dari mabuk kemenangan pemilu. Sementara di sisi lain, PKB tidak dihitung dalam hiruk pikuk koalisi. Kasak kusuk Muhaimin untuk merapat ke kubu Prabowo, disikapi secara landai tanpa melihat faktor PKB sebagai pemenang keempat pemilu.
Sejumlah faktor ini bisa jadi menjadi pengurai agar PKB berwibawa. Pertama, Raden Saleh wajib menyelenggarakan muktamar tepat waktu. Muktamar tepat untuk menjadi vital sebagai cara untuk memenuhi “syarat” 08 menerima PKB sebagai mitra koalisi. Slot untuk PKB diberikan manakala PKB menyelenggarakan muktamar tepat waktu dan mengganti Muhaimin.
Kedua, muktamar wajib diselenggarakan secara terbuka untuk semua kandidat potensial. Poin ini menjadi penting dan krusial bagi faksi-faksi di PKB. Seperti yang telah beredar, sejumlah kandidat yang merepresentasikan kekuatan di PKB tengah menunggu agenda politik lima tahunan ini. Baik cak Imin maupun tokoh-tokoh lain, tengah berkonsolidasi. Dengan posisi cak Imin yang “melemah”, bisa diyakini bahwa dia tidak akan membikin muktamar “formalitas”. Tetapi keyakinan saja tidak cukup, cak Imin harus men-deklar bahwa muktamar berlangsung demokratis, fair dan terbuka. Tanpa penegasan seperti ini, cak Imin hanya akan mempercepat “finish”.
Ketiga, dengan melihat dinamika dan perubahan suprastruktur politik nasional, ada baiknya dipertimbangkan untuk didukung sebagai suksesor cak Imin adalah tokoh yang memenuhi kualifikasi: available, accessible, acceptable dan adaptable . Secara available, kandidat ketum niscaya mampu menyiapkan logistik muktamar. Dia juga harus bisa menjangkau pusat kekuasaan seperti yang dimaksudkan oleh aspek accessible. Sementara secara acceptable dan adaptable, kandidat ketum wajib bisa diterima oleh presiden terpilih demi memudahkan masuk ke koalisi dan sanggup beradaptasi dengan suprastruktur politik nasional yang baru.
Sejumlah tokoh telah memenuhi empat aspek tersebut. Ali Masykur Musa misalnya, harus diakui adalah kandidat ketum dengan akses terbaik ke istana baru. Paralel dengan Abdul Kadir Karding, yang disebut-sebut paling dekat dengan istana lama, di antara sejumlah tokoh PKB lainnya.