Mirwan Suwarso: Mimpi Como dan Asa Bawa Pemain Indonesia di Masa Depan

Jakarta — Asisten Pelatih Como 1907, Cesc Fabregas tak bisa menyembunyikan ketegangan di pinggir lapangan. Bersama para pemain, ia menyaksikan pertandingan Venezia vs Spezia pada pekan terakhir Serie B, Sabtu (11/5) lalu.
Kalahnya Venezia dari Spezia dengan skor 1-2 membuat Como memastikan lolos ke Serie A. Padahal sesaat sebelumnya, Como bermain imbang 1-1 lawan Cosenza.

Como akhirnya kembali ke Serie A setelah terakhir kali berada di kasta tertinggi sepak bola Italia pada musim 2002-2003 atau 21 tahun lalu. Selama dua dekade, klub yang berbasis di tepian Danau Como itu menjalani jalur terjal hingga pernah merasakan level amatir di Serie D.

Namun pada 2019, klub berjulukan I Lariani itu dipinang Keluarga Hartono, pengusaha Indonesia dengan mahar Rp5 miliar. Perlahan-lahan, klub yang pernah tiga kali bangkrut itu kembali ke panggung tertinggi, menantang klub-klub raksasa Italia

Sebenarnya, di awal rencana kami di Como bukan untuk kepentingan bisnis. Kami ingin Como untuk mengakomodasi program Garuda Select.

Program Garuda Select yang sudah dimulai sejak 2016, membuat kami berencana bagaimana caranya para pemain bisa berkompetisi di Eropa supaya lebih bagus jam terbangnya.

Tapi sehubung Italia tidak lolos ke Piala Dunia setelah kami beli klubnya, tidak lama setelah itu klub amatir dan klub di bawah serie A tidak boleh memiliki pemain yang non-Uni Eropa.

Sehingga pada akhirnya kami punya klubnya tapi tidak bisa dimanfaatkan buat program Garuda Select. Oleh karena itu mau tidak mau kami mencoba cari cara bagaimana caranya memanfaatkan aset yang sudah dipegang.

Awalnya di tahun 2019 kami jadikan konten dokumenter tentang pengelolaan klub yang kami pasarkan di 75 negara.

Seiring dengan lolosnya tim ke Serie B, biaya makin besar, sehingga kami harus mencari cara untuk mendapatkan investasi dari yang sudah digelontorkan. Tidak mungkin dari konten saja atau inisiatif kecil sehingga harus kami kelola klubnya untuk meningkatkan value-nya dan mengembalikan dana yang sudah digelontorkan.

Kami melihat lokasi. Lokasinya hanya 20 menit dari kota Milan jadi secara logistik itu mudah karena dekat dengan bandara. Banyak klub di Eropa lain yang dijual juga tapi kalau harga segitu menurut saya wajar, tergantung siapa yang beli dan jual.

Kami melihat Como karena dekat dengan Milan dan sudah ada kontrak juga dengan stadion sehingga mereka punya fasilitas. Jadi harga segitu [Rp5 miliar] masuk akal.

Apa saja tantangan besar membangun klub Italia? Terlebih menangani klub yang berkali-kali punya catatan bangkrut

Tantangan paling berat adalah bagaimana caranya meningkatkan pemasukan, itu tantangan utamanya. Bagaimanapun sepak bola Italia tuntutan kualitasnya berat.

Kalau di serie B itu saingannya klub-klub yang ingin ke serie A. Ada Palermo yang dimiliki oleh Manchester City, ada Bari yang dimiliki Napoli, ada Parma, ada Venezia, Spezia, Sampdoria. Itu tim-tim besar yang kurang lebih kalibernya Serie A.

Jadi biaya gaji pemain juga harus bersaing atau pintar-pintarnya kami mencari pemain berkualitas sekaligus gajinya jangan sampai berlebihan.

Kami benar-benar bekerja secara keras terutama sejak kami masuk. Kami mulai memprioritaskan bagaimana caranya operasional itu efisien dan itu yang paling berat. Tapi yang tidak kalah berat adalah mengimbangi dengan pemasukan klub itu sendiri.

Kalau bicara pemasukan klub, yang dikasih dari hak siar televisi cuma 7 juta Euro. Kalau memainkan pemain muda ada insentif 2 juta Euro. Jadi [pemasukan] maksimal kira-kira 10 juta sampai 11 juta Euro sudah termasuk penjualan baju, tiket, dan lain-lain.

Kalau sampai pengeluaran bisa sampai 20 atau 30 juta Euro, berarti minusnya besar setiap tahun. Itu yang harus dijaga supaya gap antara kedua itu sangat kecil atau hilang.

Berbeda-beda, kalau kita bicara klub serie C itu antara dua sampai 4 juta euro. Kalau klub serie D tidak sampai 1 juta. Klub serie B ada yang cuma 8 juta euro ada juga kayak Parma sampai 40 juta euro. Itu per tahun. Proporsi terbesar itu untuk gaji pemain.

Mereka sadar klub ini sudah bangkrut tiga kali dan pemilik sebelumnya kabur tanpa membayar gaji. Tentunya mereka skeptis dengan kehadiran kami.

Apalagi kami dari Indonesia, jadi bayangkan ada klub Liga 1 yang dibeli dari antah berantah misalkan dari Fiji, Maladewa, mungkin orang Indonesia juga bingung.

Itu yang mungkin mereka alami [di Como]. Tapi dengan berjalannya waktu selama di Serie C banyak kegiatan komunitas, apalagi ketika masuk ke Serie B, cara menjalin komunikasi dengan masyarakat setempat sangat kuat. Kami sudah dipercaya di komunitas Como dan dipandang juga di sana.

Pendekatan kami memang fokus di Como itu sendiri karena target utama untuk meningkatkan pendapatan Como untuk pasar internasional.

Bidikan utama kami adalah pasar Amerika Serikat dan Eropa. Kalau Indonesia itu ketika awal dicoba, tapi justru yang menghasilkan pemasukan besar-besaran dari Amerika dan Eropa, terutama Inggris.

Kalau bicara masa depan mungkin-mungkin saja. Masa sekarang ini tidak mungkin. Kenapa, karena kami proses rekrutmen berdasarkan data.

Saat kami mengakuisisi Como, kami [awalnya] mengandalkan insting dan pengalaman orang-orang yang sudah berkutat di sepak bola. Lalu kami sadar bahwa orang-orang ini asal ngomong tanpa akuntabilitas.

Lalu kami cari cara bagaimana bisa mempertanggungjawabkan keputusan di sepak bola. Lalu kami bertemu dengan pemiliknya Brighton, Tony Bloom.

Mereka tidak melakukan seleksi dengan pakar bola, mereka melakukan nya berdasarkan data. Mereka mencari pemain paling efektif dan efisien hingga terbukti mampu bersaing di manapun kompetisi berada.

Bahkan pemilik Brighton itu juga punya klub di Belgia, Union Saint-Guilloise yang gajinya itu sepertiga dari Anderlecht dan Mechelen tapi bisa juara. Yang mereka lakukan adalah analisis efisiensi.

Itu yang kami pelajari ketika tahun pertama di Serie B dan bisa selamat. Tahun kedua sempat terseok-seok padahal investasinya makin besar dan ada Cesc Fabregas juga.

Tapi permainannya sempat tidak kunjung jelas. Sehingga musim ini saat kami pikir bakal sama saja, bulan Oktober pengurus diganti semua dan bekerjasama dengan pakar teknologi untuk membuat tim data baru sehingga bisa rekrut pemain berdasarkan efisiensi.

Fabregas menjadi arsitek strategi agar permainan jadi menarik. Dari situ baru bisa mencari data permainan yang sesuai dengan kriteria

Sistem data itu juga bisa melihat pemain yang sekarang bermain di kompetisi ini cocok atau tidak di Serie B atau di Serie A. Itu yang jadi cara kami melihat ke depannya.

Buktinya sejak Oktober itu hasil pertandingan dan gaya bertanding juga berubah. Kami naik dari posisi delapan ke posisi dua. Jadi data dan analisis terbukti untuk tim.

Ke depannya, untuk di Serie A itu dari 27 pemain hanya 10 yang bisa dipertahankan. Yang 17 pemain itu tidak memenuhi kualitas Serie A.

Dari timnas Indonesia yang ada, kebanyakan paling-paling bisa masuk di pelapis nomor tiga atau pelapis nomor empat sehingga tidak mungkin mereka bisa masuk ke tim Serie A saat ini.

Kalau kami sudah stabil di Serie A, mungkin bisa ambil risiko karena jatah untuk pemain asing [Non-Uni Eropa] cuma bisa tiga. Sambil melihat persaingan gaji dan kompetisi, pasti juga harus mencari pemain asing yang sesuai dengan performa tim bukan pas-pasan.

Kami sempat pernah melihat Thom Haye karena cocok di Serie B. Tapi untuk ke Serie A belum tentu. Jadi kami belum berani.

Venezia juga akan melakukan hal serupa jika lolos ke Serie A tentu mencari pemain baru juga. Kalau tidak mereka bisa turun lagi ke Serie B.

Tidak mungkin [direkrut]. Kami sudah lihat dan dia tidak memenuhi standar untuk mengangkat. Jadi pelapis mungkin, tapi pelapis ketiga.

Dia berposisi gelandang, kami sudah punya Daniele Baselli sebagai pelapis kedua. Kami sudah punya Ben Kone yang sedang cedera, mustahil memecat pemain cedera.

Ada juga Matthias Braunoder kapten timnas Austria di usianya 22 tahun yang bisa diproyeksikan meningkat terus. Valuasi dia juga bisa mencapai 3 juta Euro dari yang kami beli 150 ribu Euro. Kalau kami mainkan separuh musim nilai dia bisa sampai 10 juta Euro. Kami sudah ada Lucas Da Cunha yang pasti akan kami pertahankan karena nilainya mencapai 10 juta Euro.

Di posisi itu juga ada Abilgard pemain Denmark yang kekuatan duel udara sangat dibutuhkan untuk situasi defensif di Serie A. Kami sudah punya segitu banyak pemain, belum lagi pemain 17 tahunnya bisa diproyeksikan.

Tapi kami masih kekurangan pemain nomor 8 dan 10 yang harus dinamis serta agresif. Sedangkan Thom sendiri bukan tipe seperti itu karena kami butuh permainan pressing. Thom tipe pemain quarterback dengan umpan akurat dari belakang, bukan tipe pemain pressing. Jadi secara sistem tidak sesuai dengan permainan kami.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *