PKB tengah gencar road show tahapan pilkada serentak. Kegiatan ini digeber maraton di Jakarta, Surabaya dan Makassar. Sejumlah calon kepala daerah antusias menghadiri acara ini untuk menghadapi rangkaian pilkada 2024.
Tetapi ada baiknya sejumlah Cakada yang mengincar rekomendasi dari PKB, untuk menimbang serius langkahnya, terutama untuk menghindari mahar ataupun sebutan lain. Kenapa? Pertama, angin politik nasional kuat sekali tidak berhembus ke kubu ketum PKB Muhaimin Iskandar.
Cak Imin belakangan sangat sering keseleo lidah. Seperti statementnya tentang food estate, delapan agenda perubahan yang dititipkan pada Prabowo hingga hingga desakan PKB agar presiden terpilih tetap menjamin demokrasisasi dalam politik nasional.
Seringnya cak Imin keseleo lidah, menggambarkan bahwa dia galau menatap masa depan politiknya. Di satu sisi cak Imin ingin masuk koalisi, tetapi di saat yang sama dia gencar menggempur agenda unggulan kampanye Prabowo. Tentang delapan agenda perubahan yang dititipkan padanya, Prabowo menyebut bahwa “itu agenda saya 2014 dan 2019 yang tidak didukung publik dan karenanya pada 2024 saya tinggalkan”.
Sementara terkait demokratisasi, cak Imin tampaknya lupa hampir dua dekade dia memimpin PKB. Lupa bahwa salah satu esensi demokrasi adalah sirkulasi elit secara berkala sebagai bentuk pembatasan kekuasaan.
Kedua, sikap cak Imin yang berseberangan dengan istana lama, potensial berdampak pada pos kementerian dalam postur kabinet Jokowi. Secara pewaktuan, reshuffle bisa saja terjadi meski masa jabatan tinggal beberapa bulan. Tetapi secara politis, adanya’reshuffle katakanlah pada PKB dan PDIP, berpengaruh sangat telak bagi agenda nasional pilkada serentak.
Ketiga, per-30 Agustus 2024, kepengurusan DPP PKB hasil muktamar Bali, domisioner. Produk hukum yang dirilis cak Imin sebelum itu, potensial bermasalah, manakala cak Imin menunda muktamar pada akhir tahun ini. Produk hukum cak Imin juga bermasalah, saat terjadi pergantian ketua umum sebelum 30 Agustus 2024.