Jakarta – Cut Nyak Dien adalah figur perempuan yang menjadi bukti siapa pun bisa berperan dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Istri dari Teuku Umar ini lahir di Lampadang, Aceh Besar, pada tahun 1848.
Dilansir dari laman Kemendikbud, Cut Nyak Dien menggantikan sang suami Teuku Umar berperang melawan kolonialisme. Teuku Umar tewas tertembak di daerah Suak, Ujung Kalak, Meulaboh, setelah rencana perjuangannya diketahui penjajah.
Sejarah Perang Aceh dan Peran Cut Nyak Dien
Dilansir dari jurnal Cut Nyak Dien: Ratu Perang Aceh Dalam Melawan Pemerintah Kolonial Belanda Tahun 1878-1908 karya Siti Khaidah Soraya, dkk, Aceh telah lama menjadi incaran Belanda. Perang Aceh diawali ketika Belanda dan Inggris menandatangani perjanjian Traktak Sumatera.
Dalam perjanjian tahun 1871 tersebut, Belanda bebas memperluas kekuasaan di Pulau Sumatera. Belanda juga tidak punya kewajiban menghormati hak dan kedaulatan Aceh. Mulai saat itu, rakyat Aceh terus menderita akibat perlakuan kejam Belanda.
Hal inilah yang memantik rasa perlawanan dan keinginan berjuang pada diri Cut Nyak Dien. Berikut beberapa hal yang telah dilakukan Cut Nyak Dien hingga jasanya wajib dikenang sepanjang masa:
1. Mendorong Suami Menyusun dan Merebut Wilayah VI Mukim
Sejak awal menikah, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien diprediksi akan memberikan perubahan besar terhadap Aceh. Bahkan pernikahannya sempat dikhawatirkan Belanda karena keduanya adalah tokoh besar di wilayah Aceh, khususnya di bagian VI Mukim.
Kecintaannya dengan kampung halaman yang telah 7 tahun ditinggalkan ini sempat menuai konflik karena strategi Cut Nyak Dien dan Teuku Umar yang berbeda. Ia ingin melawan Belanda dengan kekuatan yang ada dengan semangat fisabilillah.
Namun suaminya memiliki taktik tersendiri dengan menyerang Belanda dari dalam yang disebut taktik “Menyerah Diri” yang ditunjang dengan taktik dalam mendapat senjata Belanda. Namun akhirnya pada 30 Maret 1896 Teuku Umar meninggal tertembak karena dikepung lebih dahulu oleh Belanda.
2. Berjanji Memimpin Peperangan Usai Wafatnya Suami
Kesedihan atas wafatnya suami bukan berarti membuatnya pasrah dengan keadaan, di tahun 1901 Cut Nyak Dien dan pengawal bergerak ke daerah Beutung ke Gayo dan menetap di Kampung Celala. Di tahun berikutnya pun mereka masih berpindah lagi ke Aceh Barat dan menetap di Beutung karena kondisi makanan yang semakin menipis.
Untuk mempertahankan diri, mereka selalu berpindah tempat agar tidak terdeteksi musuh. Mulai dari tidak menyalakan api di siang hari hingga menghapus jejak setelah dari tempat baru. Namun keadaannya yang semakin renta membuat kondisi fisiknya lemah dan membuat pasukannya, Pang Laot iba dengan keadaan sang jenderal perempuan tersebut.
3. Tetap Tegar Meski Dikhianati Pengawal
Minimnya pasukan yang tersisa membuat perjuangan pasca meninggalnya Teuku Umar terasa sangat berat. Hal ini menjadi menyebabkan Pang Laot, pengawal paling setia dari Cut Nyak Dien meninggalkannya dan melaporkan kepada Belanda tentang keberadaan sang pemimpin.
Dengan didasari rasa iba, Pang Laot meminta kepada Letnan Van Vuuren agar dapat memberlakukan tuannya tersebut dengan baik. Akhirnya Belanda mengepung Cut Nyak Dien pada 7 November 1905 di tempat persembunyian terakhirnya dalam kondisi sakit encok dan rabun.
4. Teguh Melawan Belanda Walau Akhirnya Diasingkan
Karena perbuatan pengawalnya yang berkhianat, Cut Nyak Dien akhirnya dibawa ke Banda Aceh oleh Belanda untuk dirawat hingga berangsur sembuh yang dimulai dengan aksi todong rencong. Namun semuanya berangsur mereda karena Belanda memperbolehkan kunjungan rakyat Aceh ke Cut Nyak Dien.
Kondisi ini mendorong Van Daalen dan Van Vuuren khawatir apabila Cut Nyak Dien akan membakar kembali semangat berperang. Hingga di awal tahun 1907, Belanda membawanya ke pengasingan di wilayah Sumedang hingga meninggal di tahun 1908.
Kelahiran, Pernikahan, hingga Kematian Cut Nyak Dien
Dilansir dari Ensiklopedi Pahlawan Nasional karya Sai dkk, Cut Nyak Dien terlahir dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah Teuku Nanta Setia yang mana adalah uleebalang VI Mukim, sementara ibunya adalah putri bangsawan dari Kampung Lampagar.
Gadis cantik ini dikenal memiliki semangat yang membara baik dalam pendidikan, agama, rumah tangga, hingga membela tanah kelahirannya. Dari pernikahan pertama bersama Teuku Ibrahim (putra uleebalang Lamnga XIII), Cut Nyak Dien dikaruniai putra.
Setelah sang suami wafat di tangan penjajah, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar. Seperti Teuku Ibrahim, Teuku Umar juga gagah berani melawan tindak sewenang-wenang Belanda hingga menghembuskan nafas terakhirnya.
Meskipun perjuangan Cut Nyak Dien tidak menghasilkan kemenangan atas Belanda, beliau berhasil menjadi pelopor bahwa pemimpin perang tidak selamanya perempuan. Setelah wafat pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Sumedang, tidak menjadikan masyarakat lupa dengan perjuangannya.
Melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 1964, Cut Nyak Dien resmi dijadikan sebagai pahlawan nasional pada 2 Mei 1962. Perjuangannya yang berdampak di bidang sosial, bidaya, dan politik akhirnya diabadikan dengan dengan karya teater monolog pada 13 April 2014.